Monday, December 21, 2020

c l o s e (r) πŸ’«

Me : "Temen aku cuman lagi ngomong biasa gitu, Mam. Ga ada maksud serius apa-apa. Cuman aku ngerasa di hatiku, "Iya ya. Aku juga mau kayak gitu."

Mama Laura : "Udah dekat dia itu, Nang. Percayalah. Karna doaku udah nyampek ke hatimu."


Terakhir kali aku sama Mama Laura weren't on the same page on big matter was tentang aku kuliah kedokteran umum (mimpi, harapan, dan doanya Mama Laura sejak aku kelas 1 SMA), sementara aku 'minatnya' ke Public Relation atau Hubungan Intenasional.

Akhirnya, 2013 aku lulus SMA, aku keterima di jurusan MBTI Telkom, HI Unsoed, dan FKG USU.

Waktu itu alasan milih FKG USU karna ini yang jadi dokter dari ketiga pilihan (alasan Mama Laura) dan waktu itu batas pendaftaran HI Unsoed dari pengumuman UMB hanya 1 minggu (aku ngerasa ini terlalu singkat waktunya dan terburu-buru).

So, aku jalanin FKG.

Ga ada ngeluh tentang masuk FKG, aku jalanin sebaik yang aku bisa.

Tapi, di tengah jalan di hati aku sendiri malah timbul, "Jadi dokter, Dys. Coba lagi tahun ini."

Itu Mama Laura udah ga pernah bilang apa-apa, karna harapan dia selama adalah seorang dokter, ga masalah dokter gigi atau dokter umum.

Tapi, aku tetep mau coba ujian SBMPTN lagi.

Waktu itu kata-kata Mama Laura, "Coba lah, Nang kalau kau mau. Kalau enggak pun, dokter gigi udah bagus."

Itu aja kata-katanya.


Then aku coba lagi.

Banyak banget omongan orang yang bilang :

"Ga bersyukur kali udah dapat FKG, malah mau coba lagi."

"Ngapain FK, udah terlalu banyak dokter umum."

"Ngapain capek-capekin diri ujian lagi?!"

Ga enak banget sebenernya denger yang begitu. Waktu, hati kecil aku bilang 'coba lagi.'

Tapi toh mau orang bilang apa, aku udah bulat mau coba lagi, gimana pun hasilnya.


Trus waktu ternyata lulus FK Andalas, Padang, lebih ga enak lagi omongan orang.

"Ngapain ke Padang, nanti kau pakek jilbab!"

"Ngapain ke Padang, nanti kau kenak tsunami!"

"Ngapain ambil FK. Sini aja, udah enak, nanti punya klinik sama kakakmu." (Nyebut kakak senior aku yang dulu pacaran sama abang itu. But not anymore, now) πŸ™πŸΌ

Banyak banget yang lain yang lebih parah (re. rasis), cuman menurut aku ga baik diposting.


How did it turn out?

- Yes, I did pernah pakai jilbab di 2 atau 3 acara. Waktu aku KKN pas penyuluhan di masjid/mushalla , dan pas dulu tahun 1 turun kegiatan organisasi.

- Ya, ga kehitung udah berapa banyak gempa yang aku alami di Padang. Tapi ga pernah tsunami selama 6 tahun itu di Padang.


Malah looking back now, kalau bukan karna pengalaman aku 6 tahun di Padang, aku ga bakal pernah ngerasain banyak pengalaman baru dan sampai 'terlahir baru'.


Mungkin aku ga bakal ikut organisasi yang nyadarin aku seberapa aku cinta sama Public Health. Mungkin aku ga bakal tau seberapa bergunanya sifat planner, critical, and  practical nya aku. Aku bisa nulis beberapa artikel buat majalah lokal. Aku bisa siap skripsi 6 bulan, bisa masukin hasil penelitian ke beberapa seminar, pergi ke WONCA 2018. Banyak lagi hal-hal yang aku rasa berkat dan penyertaan Tuhan selama di Padang.

Kalau aku ga di Padang, aku juga mungkin would have never made the mistakes that made me stray, eventually hit my lowest point, and actually felt God's provisions and protections personally. Dan akhirnya ngerasain apa makna 'hadirat Tuhan' secara pribadi.


Jadi setelah 6 tahun ngejalanin apa yang orang bilang suatu tindakan 'tidak bersyukur', suatu pilihan yang merugi, do you think I will doubt my inner voice just because society don't agree with me?

ABSO-FREAKIN-LUTELY NO !!


Malah sekarang I know how to selectively tell which people about my personal 'decisions'.

Karna emang bener 'Without counsel purposes are disappointed: but in the multitude of counsellors they are established.'

Tapi lihat dan kenali who you ask wisdom from.

Bertanya dan cerita ke orang yang memang punya wisdom dan live with wisdom.

Jangan bertanya ke penonton, yang hanya akan lihat dan komentar. πŸ™ƒ✨


I'm a fond believer of kata hati/ hati nurani.

It's just kata hati itu sama kayak semua skill/ semua temen yang kita punya, kalau ga dipergunakan, enggak didengerin, ga dianggap, ya dia diam.

And then we become numb sama 'signs' and suaranya.

No wonder kita ngerasa jalan tanpa arah, ga jelas tujuannya, terombang ambing sama apa yang dunia/ orang banyak pikir, anggap wajar/ anggap keren.

All I'm saying is, "listen to that small voice in your heart."

Kalau kamu udah terlalu lama ga denger itu,  bahkan mungkin ngerasa ga punya itu, berbaliklah.

Balik ke yang ngasi tanda dan suara itu.

Balik ke DIA.

HE is always there. It's just us who gets so caught up with our lives and other people's opinions.


May we become the people who don'thave to go through stuff for times to actually learn from it. πŸ™πŸΌ✨


 



Have a blessed day, everyone. ☺️πŸ™πŸΌ

No comments:

Post a Comment