Thursday, July 30, 2020

As THE DAY comes closer


Me : " Mam, aku udah mau ulang tahun 'ni. Seneng! Udah mau resmi jadi dokter juga. Akhirnya mau nutup cerita 'Padang' juga."
Mama : "Iyalah, Nang. berbahagialah hidupmu. Jangan sedih-sedih lagi."



Mom, Cia, and I were having some tea-time, without the tea ahahhahaha πŸ˜‚πŸ˜Ž
And, we were talking about what we're about to do from October-December.
Since, I'll be having 6-month holiday before internship.
Cia will be attending university via online classes, until January next year

So, 
Cia and I decided we're taking Korean Course together
I've always wanted to master a language where the writing and pronunciation is different. 
And I'll be taking sewing course, since I love having my stuff customized.
And Cia will be back on her badminton practice.


So, yeah..

May this year bring personal growth, self-improvement, and really self-discoveries for all of us.
 

Have a blessed day everyone.











Sunday, July 26, 2020

What I Wish My Younger Self Know

 

Najas : "Iya, emang ga bakal bisa satu orang tersebut memenuhi segala kebutuhan kita."


Hello everyone!
It's day-21 to THE Final Exam, UKMPPD.
But, I've been wanting to write about this matter since like two weeks ago, but felt a bit hesitated because of my status right now.
But, as days went by, and I interacted with my friends, I became sure it's okay to write about this one thing.


That : 

Your romantic partner can never be your all-in-one. 

He/she can never be that. 

No one can ever be."

 
I mean almost all the romantic movies we watch give that false belief that 'the one' will be everything you'll ever need. EVERYTHING.
Now, that idea unconsciously puts this 'expectation' that our partner should meet our every need.
By need I mean, jadi sahabat, jadi konselor, jadi rekan diskusi bisnis, jadi rekan cerita film romkom yang kita suka, jadi orang yang kita ajak cerita pertandingan tim basket favorit kita, jadi temen cerita semuanya, like semuanya...dan mereka harusnya bisa. Kalau mereka ga bisa kita ajak ngomongin semuanya itu, segala sesuatunya, berarti mereka bukan orangnya.

Like, TONG!!
Yang bener aje, lu lagi pacaran apa lagi belanja di LOTTE MART!!
Itu pacar atau Tuhan, lu harapin menuhin segala kebutuhan emosional lu!

I came this hard on this matter, because I used to be one of those people who think 'the one' will be all, like everything, I'll ever need.
Like when I have the one, I won't need others.

THAT IS THE VERY THING THAT BRINGS YOU CATASTROPHE.

Kenapa? 
Karna,

1. Last time I check we're all human. 

Kita ga ada akan mampu memenuhi semua kebutuhan siapa pun. 
Ga akan.
Yang bisa memenuhi semua kebutuhan kita tu Tuhan, bukan manusia.

I realised this after actually reflecting on  how my relationship with my 'kuning telor' (read : closest ones) really is.
I realised that, 

If I wanna talk about my plans in life, talk about my life journey, I go to my mother. 
Because she has more experiences and she is wiser. She's my mentor.

Kalau aku mau cerita tentang baju yang menurut aku bitchy-yet-cute-at-the-same-time (meaning I'm considering buying that thing πŸ‘€πŸ˜œ), I go to Oli. 
Atau aku lagi mau cerita tentang certain YouTube videos yang aku suka, yang biasanya adalah video interview atau emang sermon, I go to her.
Karna somehow emang nyambung waktu aku ngomongin itu ke dia.

Mungkin satu lagi, kalau aku mau cerita tentang self-improvement, like what-you-wanna-do-after-Med-School kind of stuff, tentang Laws of The Universe, dll, I'll go to Najas.

Sebenernya ada banyak lagi contohnya.
Cuman, yaa... you got the picture.

I mean seseorang tu emang bisa berwawasan luas, bisa diajak ngomong banyak hal.
But that doesn't mean dia jadi sumber semuanya, dan dia bener-bener mengerti semuanya.

Dan aneh juga sih kalau aku punya pasangan trus aku lagi mau certa tentang 'naksirnya' aku ke Kafka Ananta, tokoh di novel Crash Into You, dan dia juga se-excited dan sebinar-binar aku waktu nyeritain Kafka.
Atau ngomongin Edward Cullen gitu...kan aneh...we should probably be besties dari pada partner.


2. That way of thinking puts too much expectation on your partner


Karna waktu ternyata ada hal-hal yang kayaknya ga bisa 'dipenuhi' oleh the one, this leads to tension. 
Then leads to arguement.
Then leads to frustation.
Trus kalau makin berlanjut either leads to break-up or in a more 'ego-stroking' fashion, cheating then break-up.

Ga baik.



3. That way of thinking makes the relationship prone to abuse.

By abuse I don't just mean physical or emotional.
Tapi emang abuse dalam menjalankan hubungan itu, segala bentuk 'penyalahgunaan'.

Karna you think he/she is the one, jadi timbul perasaan ketergantungan yang akhirnya bikin kamu ignore to the red flags. 
Jadi kayak, "Tapi aku sayang dia, ga papa deh dia kayak gini....Walau sebenernya kalau sahabat aku tau dia kayak gitu, pasti mereka bakal suruh aku putusin dia."

Stuff like that.
Hal-hal yang membuat kamu 'merahasiakan' hubungan itu. 
Sebenarnya bukan karna privasinya, tapi karna deep down you know it's wrong.
Tapi emang karna udah ngerasa she/he is the one, jadinya even when you're treated in a bad way, you accept it. 
Karna pikiran kayak if you lose 'the one', you lose everything, karna udah jadiin dia your 'all-in-one' itu.


Sejujurnya, aku sampai di tahap menyadari ini, karna as I spend more time to just understand myself and reflect on some past experiences, ada beberapa kejadian yang emang bikin aku sadar.


~ Waktu aku tergelincir naik motor malam-malam,
(karna aku Rossi dengan motor matic ku. Sekali lagi, TIDAK UNTUK DITIRU πŸ™) 
aku ingat banget gimana sahabat aku datang, dan ngejahitin luka aku di telapak tangan, di kamar kos aku.

~ Atau selama aku persiapan UKMPPD ini dan ada temen-temen yang kirim makanan buat aku. Saat mereka sama sekali tidak sedang berada di kota yang sama dengan aku dan aku ga ngasih apa-apa ke mereka.

I know this seems so small. Dan kayak "semua temen gitu kali, Dys."
Cuman, aku dulu 'secara ga sadar' selalu ngerasa I should give certain things/ act certain ways, supaya aku layak diperlakukan dengan baik.

AND THAT IS JUST WRONG.


The idea kayak "only if you can give me this and this, then I will give you this and this..." atau kayak "only then will I treat you well, give you things yang kamu mau. Kalau enggak ya terima aja gimana perlakuan aku ke kamu."


~ Satu lagi yang bikin aku sadar adalah that you can reach 'that level of intimacy' tanpa adanya embel-embel romantic relationship.

By intimacy I mean ngerasa bener-bener connect, ngerti, dan dimengerti oleh orang lain.
Perasaan bahwa kamu bisa jadi diri kamu sendiri, flaws and all, dan kamu bakal tetap diterima, bakal tetap diperlakukan dengan hormat dan kasih sayang.


Ini kan perasaan yang kalau orang suka bilang 'aku nyamannya sama kamu' .
 

What I really want to convey is please jangan jadikan your romantic relationship as your 'only'.
Don't expect that one person to fill up your cup.
Have some deep, love-filled, satisfying relationships, so you not only receive but you can also pour into somebody else's cup.


KNOW YOUR WORTH.
Kayak kata Khalid. 
Ga harus menyakitkan baru disebut 'real relationship'.



Foot note :

Aku sempat ragu untuk ngomongin ini karna aku sempat 'overthinking' what if people think I'm just faking atau banyak ngomong aja.
Ada juga kekhawatiran what if I write this trus bakal bikin orang yang 'mungkin' tertarik ke aku bakal ngerasa aku seolah-olah bilang 'I got it all' dan jadi kayak bikin dia jadi kayak 'ga jadi deh..'
[ I know..I know...I'm a VIRGO. 'Overthinking' is my middle name..ahahahhaha  πŸ˜‚πŸ˜‚]


Tapi ya balik lagi, whatever will be, will be.
Apa yang ditakdirkan untuk aku, tidak akan melewatkan aku.
Kalau memang pintu itu dibukakan buat aku, ga akan ada yang bisa menutupnya.











Something I need to learn, to accept.
To feel okay when I accept without having to give anything in return. 


 

 


Friday, July 10, 2020

The Invaluable Legacies πŸ’ πŸŒŒ✨

Hi everyone!
How's life?
I hope y'all are doing great. 

After all the things that happended, I personally feel these last 6 months have been self-reflecting, personal-developing, root-deepening time.
It seems weird when many things are being postponed, I actually experience much more growth in this doing less and focussing on less stuff.

As we got more time by ourselves and really substract our activities to what's important, I see it more clearly now that I'm blessed with such family.
I don't say mine is a perfect one, I swear we're not.
Cia and I fight like brothers from time to time but I know deep down we have this unconditional love for each other.
Mamak-Bapak isn't the kind of couple that makes you believe in romance or such things.
But somehow, they sow so much good seeds in Cia and I.
Seeds of values that now, in my mid 20s, I see as the most invaluable legacies they (Mamak-Bapak) can leave Cia and I with. 


So, I'd like to share some of the good seeds I feel blessed to have in my life :

1. FAITH

On one afternoon after Mom coming home from work, I told her, 

"Mak, kayaknya aku yakin aku bakal pindah gereja. Aku ga ngerasa sesuai aja sama gereja kita. 
Ya enggak sekarang, mungkin waktu kakak udah nikah. 
Tapi aku yakin bakal pindah. Kau ga papa kan Mam aku pindah?"

Mamak : "Ya, ga papa. Gerejalah dimana kau merasa imanmu bertumbuh."

Aku tahu ini ga terasa kayak 'a big thing' buat orang yang bukan orang Batak Toba, bukan anggota jemaat gereja kesukuan. Tapi buat yang ngerti pasti tahu how big of a deal apa yang aku bilangin ke Mamak. 

Tapi kenyataannya Mamak-Bapak memang ga pernah ngajarin aku dan Cia untuk membedakan orang Kristen berdasarkan dia gereja di mana.

I know this seems small, tapi karna aku ga pernah diajarin untuk membedakan itu, aku juga jadi ga pernah membedakan temen aku yang ga seagama dengan aku.
It's one of the thing kamu kebawa sampai besar.

Makanya kalau waktu koass orang nanya aku gereja di mana, aku bakal bilang tergantung jadwal dinas aku apakah ada di hari Minggu atau enggak. 

Wednesday, July 1, 2020

Prophetic Words

Bapa, 

Kalau Bapa udah bawa Edys ngelewatin begitu banyak hal,
Edys yakin untuk ujian yang akan Edys hadapi ini pun Bapa beserta.

Rasa khawatir dan takut Edys masih ada.
Khawatir akan ketidaktahuan, ketidakpastian, cara baru dengan protokol yang baru.

Tapi lebih dari perasaan Edys,
Edys mau bilang ke jiwa Edys,

"Bapa setia bahkan di saat Edys ga setia, di saat Edys terhilang, di saat Edys hilang harapan.
Apalagi di saat ini.
Saat Edys udah kenal Bapa secara pribadi, dan bangun hubungan pribadi dengan-Nya."

Lebih dari pada perasaan Edys,
Edys akan biarkan iman yang memimpin dan mengarahkan.

Edys tahu 2020 bukan tahun yang sia-sia.
Di setiap kejadian, setiap penundaan, Bapa turut bekerja.

Dan walaupun pada saat ini belum kelihatan apa-apa,
tapi Edys bisa merasakan dalam hati Edys, kalau 2020 akan jadi tahun penuh berkat, penuh kemurahan dan penyertaan Bapa, tahun pertumbuhan untuk keluarga, sahabat, dan Edys sendiri.

I may not see it with my eyes now.
But I see it with my faith.





p.s I'm missing some people at the moment.
some with whom my introvert-heart feels at home with.